Rabu, 22 Februari 2012

Dari Semeru untuk Indonesia



"Dari Semeru untuk Indonesia" 
adalah kalimat yang tertera di dalam sebuah banner yang ada di Gunung Semeru ketika perayaan 17 Agustus yang lalu. Mungkin sangat terlambat ketika saya baru menuliskan catatannya sekarang, tapi bagi saya tidak ada kata terlambat  untuk berbagi, bukan? Dan mengapa pula saya harus merayakan kemerdekaan di Semeru? 

Semua bermula dari wacana seorang teman untuk bertemu kembali setelah dia menghabiskan masa cuti kuliahnya selama satu tahun karena kakinya yang patah. Awalnya kami hanya ingin sekadar bertemu, namun karena hobi kami sama, yaitu sama-sama hobi travelling terutama mendaki, akhirnya kami memutuskan untuk merancang sebuah perjalanan pendek yang agak berkesan. Kebetulan pula saat itu berdekatan dengan hari kemerdekaan Indonesia, jadilah kami memutuskan untuk mendaki Semeru dalam rangka merayakan kemerdekaan Indonesia.

Saya cukup tertarik dengan wacana ini, karena ini merupakan kali pertama saya merayakan kemerdekaan Indonesia di Puncak sebuah gunung, Puncak tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru dengan Puncak Mahamerunya. Bagi saya, perjalanan kali ini bukan hanya sekadar perjalanan, melainkan salah satu kesempatan saya untuk melihat seberapa besar rasa nasionalisme para pemuda yang kabarnya kini mulai berkurang.

Tim Perjalanan Semeru
Perjalanan kami dimulai dengan mengumpulkan tim perjalanan. Setelah mengajak beberapa orang teman, akhirnya terkumpullah tujuh orang lagi yang akan berjalan bersama, menapaki denyut nasionalisme di Mahameru. Tim perjalanan tersebut berangkat secara terpisah karena memang tidak semua berdomisili di Jakarta. Lima orang berangkat dari Jakarta, dan empat lainnya akan langsung bertemu di Malang, tepatnya di Pasar Tumpang yang merupakan meeting poin menuju Semeru atau pun Bromo. 

Jeep sewaan
Tanggal 15 Agustus 2012, seluruh tim telah berkumpul di Pasar Tumpang dan kami akan menyewa sebuah jeep untuk menuju desa Ranu Pane, yang merupakan desa terakhir dalam pendakian Gunung Semeru. Jauh siang kami baru tiba di Ranu Pane untuk melanjutkan pendakian menuju Mahameru. Keadaan yang sedang berpuasa pun tidak menjadi halangan yang sangat berarti karena saya dan salah seorang anggota tim masih tetap melaksanakan ibadah puasa pada pendakian ini. Sore hari kami langsung mendaki menuju danau Ranu Kumbolo, sebagai lokasi camp pertama kami. Keesokan harinya tim kembali memecah, enam orang melanjutkan pendakian menuju Kalimati dan dua lainnya tetap berada di Ranu Kumbolo. Saya termasuk ke dalam tim yang melanjutkan pendakian karena tujuan utama saya adalah mengikuti upacara kemerdekaan di Puncak Mahameru. Sore hari tanggal 16 kami tiba di Kalimati. 

Akan tetapi, impian saya untuk melaksanakan upacara kemerdekaan di Puncak Mahameru harus saya kubur dalam-dalam karena status gunung Semeru yang sedang dalam "siaga 1" membuat pendakian diharuskan berakhir sampai Kalimati. Namun, hal tersebut tidak serta-merta mengubur rasa nasionalisme saya. Keesokan harinya, upacara Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan serempak di dua titik pendakian: Ranu Kumbolo dan Kalimati. Upacara berlangsung dengan sangat hikmad dan cukup membuat dada bergetar ketika kamipara pendakimenyanyikan lagu Indonesia Raya.

Akan tetapi, bagi saya makna dari suatu nasionalisme bukan hanya sebatas seremoni belaka. Nasionalisme dapat pula kita tunjukkan dengan berbagai hal lainnya dan seremoni hanyalah salah satu upaya pengingat dan pemersatu semangat kebangsaan. Mungkin di masa depan, akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa dari salah satu di antara kami dan kami telah berproses untuk memupuk rasa cinta tanah air kami.

Upacara Kemerdekaan di Ranu Kumbolo

Upacara Kemerdekaan di Kalimati


"Sebuah negara tidak akan kekurangan pemimpin
selama pemudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan"
_Sir Henry Dunant 

Rabu, 15 Februari 2012

Fragmen Cinta


Selepas senja di hari itu, kau menemuiku di sebuah dermaga kecil yang sepi. Hanya ada kau, aku, dan kaki langit yang mecelup ke laut. Lama sekali kita membisu. Memendam berjuta kata yang tidak akan habis kita ucapkan.
Aku mulai resah dalam kebisuan ini. Hanya angin yang mampu membisiki telingaku, membelai lembut keningku, dan sesekali menerbangkan beberapa helai rambutku untuk kemudian menjatuhkannya lagi.

Sayang, kau tetap membisu.

Kau hanya memandangi cakrawala yang kini entah berada di mana. Aku tak tahu pasti untuk apa kau ingin menemuiku di dermaga ini. Dermaga kenangan kita. Tapi, aku melihat tidak ada lagi diriku di dalam sana. Di dalam tatapan matamu yang teduh itu. Aku pun tidak lagi melintas di dalam benakmu seperti biasanya. Hanya kekosongan yang memenuhi rongga pikiranmu saat ini. Entahlah.


Sayang, malam ini aku sudah tak sepaham denganmu.
 
Aku mendengarmu mengatakannya padaku. Sayup-sayup, sangat halus bahkan sehalus desiran angin yang berbisik di telingaku. Aku bergeming. Kurasakan desiran hangat mulai merayapi tubuhku hingga ke telinga. Aku dapat merasakan seluruh jalan buluh nadiku mengalir begitu deras saat ini. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya hingga akhirnya aku menyadari....

Ah, Sayang.. Seandainya kau tahu bahwa di antara luka yang membiru ini tersimpan segores asa. Asa tentang sebuah nama yang menelusup jauh melampaui batas-batas imajiku. Kemudian aku tersentak. Menyadari bahwa nama di dalam imajiku itu bukan engkau!

Sayang, Selamat tinggal.

Bisikku bagai desir angin di dermaga itu. Meninggalkannya. Hanya tinggal cakrawala yang entah di mana dan engkau yang terus mencarinya.

[Tepian Dermaga, 2012]