"Subuh telah datang menjemput malam pada hari ini. Semburat jingga telah muncul di ufuk timur. Kidung malaikat pun mulai mengalun dari bibir mungilnya. Kinanti..."
Nyanyian demi nyanyian selalu meluncur lirih dari sepasang bibir mungilnya. Tak hentinya dia melagukan rasa dalam jiwanya. Kala bahagia, kala berkecamuk, kidung selalu meluncur dari bibirnya. Nyanyian pertamanya didendangkan olehnya kala subuh menjemput malam beberapa belas tahun yang lalu. Nyanyian kehidupannya yang pertama, kala Tuhan meniupkan ruh ke dalam jasadnya.
Kinanti. Mungkin dia hidup dan menghidupi kidung yang melantun. Akhir-akhir ini, wajahnya selalu sendu kala dia menembangkan kidung-kidung indahnya. Wajahnya terlihat selalu menahan beban kerinduan. Kerinduan akan sebuah cinta yang selama belasan tahun belakangan terasa asing baginya. Kinanti tidak benar-benar dapat mengenali rasa yang berkecamuk di dadanya saat ini.
Setiap kali dia selesai melantunkan sebuah kidung, selalu dihelanya nafasnya dalam-dalam seraya memejamkan kedua matanya. Berharap segera terbebaskan dari rasa yang menghimpit ruang-ruang dalam dadanya. Bulir-bulir bening pun segera terbit di kedua sudut matanya. Asing dalam rasanya sendiri. Terjebak dalam situasi perasaan yang tiada dimengertinya. Dirinya, entah mengapa, kini selalu merindu sosok yang tiada pernah dikenalnya.
"Kinan, hentikanlah sedu sedanmu itu... Tak sanggup aku mendengarnya. Bagai teriris sembilu aku menyaksikanmu berdendang bagai tanpa ruh...". Sebuah suara mengaburkan laju khayalnya petang ini. Suara dari seseorang yang selalu berada di sisinya selama ini. Hanya sebuah senyum simpul yang diberikan Kinanti sebagai tanda jawaban.
"Katakan padaku. Tolong. Rasa apa yang selalu menghujamiku akhir-akhir ini?" Tanyanya lirih. "Aku pun ingin hidup bebas sepertimu, seperti mereka. Dapat tertawa lepas, bagai tanpa beban. Tolonglah". Kembali tatapannya menjadi kosong. Memandang batas cakrawala dari puncak bukit tempat lahirnya. Di atasnya, gemawan berarak tak menentu, seakan mewakili kegamangan hatinya saat ini.
"Kinan, yang kau rasakan hanyalah ilusimu belaka. Hanya ada dalam pikiranmu, Sayang." Jawab sosok yang selalu berada di sisinya itu. Dibelainya rambut hitam Kinanti yang terurai panjang dengan hati-hati. Ditatapnya kedua bola mata yang selalu menyimpan tanya dan kerinduan itu. Seketika itu pula hatinya bagai tercabik. Bola mata yang sedang ditatapnya kini memancarkan sinar yang sama dengan seseorang yang teramat dicintainya. Teramat dikasihinya. Seseorang yang menitiskan dirinya ke dalam sosok rapuh yang kini mulai melantunkan kidung kerinduan di sampingnya.
***
Kinanti. Selama belasan tahun memendam rasa rindu yang tiada pernah dimengertinya. Hidup dalam kesunyian dan besar di tengah-tengah rahim semesta yang damai bersama seseorang yang selalu berada di sisinya. Seseorang yang selalu mencintai sosok yang menitis ke dalam raga Kinanti.
"Katakanlah padaku, kerinduan apa yang menyesakkan dadaku kini?" Lirihnya kepada sosok yang selalu berada di sisinya itu. Sosok itu pun hanya mampu menahan kecamuk yang mendera batinnya kini. Memilah patah-patah kata untuk Kinanti.
"Kinan, dirimu adalah titisan ibumu yang teramat aku cintai, Sayang. Itulah kerinduan yang selalu menderamu selama ini. Kerinduanmu pada sosok yang menitis padamu. Maafkan aku selama ini. Kinanti..." Tersendat-sendat sosok itu menjawab tanya putrinya yang teramat dicintainya.
Kinanti hanya mampu menatap kosong hamparan langit yang teduh. Mencari sosok yang selama ini dirindukannya. Berharap langit menurunkan sosok tersebut di hadapannya. Jutaan kidung kini hanya terhenti di batas nafasnya tanpa mampu terlantunkan. Bulir-bulir bening menganak sungai di kedua belahan pipinya.
[Kidung Malam, 2012]