Minggu, 25 Desember 2011

Di sebuah kota kenangan


Hiruk-pikuk malam.
Tentu saja, malam ini aku berada di tengah-tengah hiruk-pikuknya malam
di sebuah kota kenangan.

Aku tak pernah menyadari
bahwa aku akan kembali terseret gelombang waktu
untuk kembali ke kota kenangan bagi banyak orang ini.
Aku pikir aku hanya akan mengalami berbagai ilusi yang fana di sini
karena terus-menerus melangkahi kenangan di jalan-jalan aspalnya.

Tetapi, ternyata tidak.
Sama sekali tidak.
Aku sama sekali tidak berjalan lagi di atas aspal
yang penuh dengan kenangan itu.

Waktu telah berhasil mengumpulkan dan membenahi kembali
berbagai kenangan yang terserak di ujung-ujung jalannya.
Sementara aku sibuk mengubahnya menjadi sesuatu yang terasa sama sekali lain.

Aroma kota. Kesunyian. Jalan aspal.
Pematang dan berjuta mosaik lain
yang akan mengalirkan denyut-denyut kerinduan
berhasil kurangkai menjadi sebuah bayang-bayang.
Bayang-bayang tentangnya yang kini berhasil kuseret masuk
ke dalam riuhnya kenanganku akan kota ini. 
Teruslah menari bersamaku di dalam kenangan kota ini!

Senin, 05 Desember 2011

Kematian



Seorang pemuka agama pernah berkata: “Tak ada sesuatu apapun yang pasti di dunia ini kecuali kematian.” Aku percaya.
Kemudian aku tak bisa lagi memikirkan hidup. Tak berdaya melihat siang dan malam berlalu membawaku menuju kematian. Inilah yang kulihat karena semua itu benar. Lain-lainnya palsu.

Aku menjadi tak paham makna kehidupan. Dunia adalah sesuatu tanpa batas dan tidak bisa dipahami. Kehidupan manusia adalah bagian yang tidak bisa dipahami dari ‘semua’ yang tak bisa dipahami itu. Seketika tak ada kehendak, tak ada perwujudan, dan tak ada dunia. Di hadapan kita, tentu saja tinggal ketiadaan.

Bagi yang hidup tahu mereka akan mati, tapi yang mati tak tahu apa pun. Mereka juga tak lagi mendapat imbalan karena memori tentang mereka terlupakan. Juga cinta, kebencian, dan kecemburuan mereka kini binasa.

Semua yang ada di dunia—kebodohan, kearifan, kekayaan, maupun kemiskinan adalah kehampaan. Hampa karena manusia akan mati dan tak ada yang tersisa darinya.
[Leo Tolstoy- A Confession], November 2011.

Kamis, 01 Desember 2011

Kisah Pelacur



Dia wanita. Belum separuh baya usianya.
Tapi, dia berbeda. Tidak seperti wanita-wanita lainnya.
Dia pekerja, tapi tidak di kantor.
Uangnya sebagian besar dia habiskan untuk membali minuman dan peralatan make-up.

Di malam hari dia mulai bersiap-siap. Menabur bedak tebal di wajahnya yang lelah, menyapukan mascara hitam pekat, dan mengoleskan gincu merah menyala di bibirnya.
Dikenakannya baju terusan mini dengan payet-payet usang di bagian dada.
Dikenakannya sepatu hak tinggi andalannya. Rambut panjangnya yang bercat marun terurai.

Dia siap turun ke jalan yang penuh taburan lampu-lampu dan asap kendaraan.
Targetnya hari ini: mendapatkan seorang laki-laki pejabat dengan harapan menjadi simpanannya.

Malang nasibnya. Tak berapa lama, dirinya harus berkejaran dengan para petugas yang mendadak merazia. Dia panik. Dia tertangkap.
Air matanya berurai membentuk alur-alur hitam di wajahnya. Dia terus memaki dalam hati. Memaki dirinya. Memaki petugas. Memaki keadaan.

Terkutuk! Mengapa hanya pelacur yang ditangkap? Bukankah pelacur tidak akan ada tanpa adanya pria hidung belang itu?
Mengapa harus melulu pelacur yang dipersalahkan? Tapi para pria bejat itu bebas berkeliaran!
Hatinya kering. Terlalu banyak memaki. Matanya menjadi nanar. Sekian.
[Perempatan Lampu Merah, November 2011]