Selasa, 10 April 2012

Kinanti


"Subuh telah datang menjemput malam pada hari ini. Semburat jingga telah muncul di ufuk timur. Kidung malaikat pun mulai mengalun dari bibir mungilnya. Kinanti..."

Nyanyian demi nyanyian selalu meluncur lirih dari sepasang bibir mungilnya. Tak hentinya dia melagukan rasa dalam jiwanya. Kala bahagia, kala berkecamuk, kidung selalu meluncur dari bibirnya. Nyanyian pertamanya didendangkan olehnya kala subuh menjemput malam beberapa belas tahun yang lalu. Nyanyian kehidupannya yang pertama, kala Tuhan meniupkan ruh ke dalam jasadnya.

Kinanti. Mungkin dia hidup dan menghidupi kidung yang melantun. Akhir-akhir ini, wajahnya selalu sendu kala dia menembangkan kidung-kidung indahnya. Wajahnya terlihat selalu menahan beban kerinduan. Kerinduan akan sebuah cinta yang selama belasan tahun belakangan terasa asing baginya. Kinanti tidak benar-benar dapat mengenali rasa yang berkecamuk di dadanya saat ini.

Setiap kali dia selesai melantunkan sebuah kidung, selalu dihelanya nafasnya dalam-dalam seraya memejamkan kedua matanya. Berharap segera terbebaskan dari rasa yang menghimpit ruang-ruang dalam dadanya. Bulir-bulir bening pun segera terbit di kedua sudut matanya. Asing dalam rasanya sendiri. Terjebak dalam situasi perasaan yang tiada dimengertinya. Dirinya, entah mengapa, kini selalu merindu sosok yang tiada pernah dikenalnya.

"Kinan, hentikanlah sedu sedanmu itu... Tak sanggup aku mendengarnya. Bagai teriris sembilu aku menyaksikanmu berdendang bagai tanpa ruh...". Sebuah suara mengaburkan laju khayalnya petang ini. Suara dari seseorang yang selalu berada di sisinya selama ini. Hanya sebuah senyum simpul yang diberikan Kinanti sebagai tanda jawaban. 

"Katakan padaku. Tolong. Rasa apa yang selalu menghujamiku akhir-akhir ini?" Tanyanya lirih. "Aku pun ingin hidup bebas sepertimu, seperti mereka. Dapat tertawa lepas, bagai tanpa beban. Tolonglah". Kembali tatapannya menjadi kosong. Memandang batas cakrawala dari puncak bukit tempat lahirnya. Di atasnya, gemawan berarak tak menentu, seakan mewakili kegamangan hatinya saat ini.

"Kinan, yang kau rasakan hanyalah ilusimu belaka. Hanya ada dalam pikiranmu, Sayang." Jawab sosok yang selalu berada di sisinya itu. Dibelainya rambut hitam Kinanti yang terurai panjang dengan hati-hati. Ditatapnya kedua bola mata yang selalu menyimpan tanya dan kerinduan itu. Seketika itu pula hatinya bagai tercabik. Bola mata yang sedang ditatapnya kini memancarkan sinar yang sama dengan seseorang yang teramat dicintainya. Teramat dikasihinya. Seseorang yang menitiskan dirinya ke dalam sosok rapuh yang kini mulai melantunkan kidung kerinduan di sampingnya.
                                                                           ***
Kinanti. Selama belasan tahun memendam rasa rindu yang tiada pernah dimengertinya. Hidup dalam kesunyian dan besar di tengah-tengah rahim semesta yang damai bersama seseorang yang selalu berada di sisinya. Seseorang yang selalu mencintai sosok yang menitis ke dalam raga Kinanti.

"Katakanlah padaku, kerinduan apa yang menyesakkan dadaku kini?" Lirihnya kepada sosok yang selalu berada di sisinya itu. Sosok itu pun hanya mampu menahan kecamuk yang mendera batinnya kini. Memilah patah-patah kata untuk Kinanti.

"Kinan, dirimu adalah titisan ibumu yang teramat aku cintai, Sayang. Itulah kerinduan yang selalu menderamu selama ini. Kerinduanmu pada sosok yang menitis padamu. Maafkan aku selama ini. Kinanti..." Tersendat-sendat sosok itu menjawab tanya putrinya yang teramat dicintainya.

Kinanti hanya mampu menatap kosong hamparan langit yang teduh. Mencari sosok yang selama ini dirindukannya. Berharap langit menurunkan sosok tersebut di hadapannya. Jutaan kidung kini hanya terhenti di batas nafasnya tanpa mampu terlantunkan. Bulir-bulir bening menganak sungai di kedua belahan pipinya.

[Kidung Malam, 2012]

Senin, 09 April 2012

Seraut Wajah dalam Purnama


Perempuan itu terdiam di sisi sebuah jendela buram di atas sebuah kereta yang melaju kencang menuju timur. Malam ini adalah sebuah malam purnama. Malam yang selalu mengingatkannya akan kisah pada purnama yang lain. Kisahnya dengan sang kekasih kala menatap purnama yang sama pada suatu malam yang dahulu, walau jarak membentang di antara mereka.

Gadis itu memandang purnama penuh kebisuan. Sesekali dia menghela nafas panjang karena jalan nafasnya kini penuh sesak oleh kerinduan. Sesekali pula sungai airmata mengalur di pipinya yang halus. Ya, kerinduannya pada seraut wajah dalam purnama memang selalu membuatnya begitu sesak, begitu berdesir, dan begitu berdegup. 

Di luar, malam telah semakin pekat, walau cahaya purnama berpendar masuk melalui kaca bening di samping wajah si perempuan. Berbagai siluet di sisi kanan kereta turut melaju kencang dalam pekat. Perempuan itu pun hanya mampu memandangi malam yang kian melarut, menanti fajar yang mungkin akan segera menjemputnya untuk dapat hadir lagi di keesokan harinya. Ya, begitulah hidup bagi si perempuan. Datang dan pergi selalu silih berganti. Seperti siluet hitam pada sisi kanan kaca yang melaju datang dan pergi dengan begitu cepat.

Entah untuk apa si perempuan kini berada di atas kereta malam yang menuju ke timur. Untuk menemui sang kekasih ataukah untuk kembali meninggalkannya dan menyisakan lagi kerinduan yang lebih dalam? Si perempuan pun tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu karena memang dia hanya pergi mengikuti kehendak hatinya. Baginya, seraut wajah yang selalu muncul kala purnama itu selalu mencambukinya dengan rasa rindu yang begitu hebat sehingga dia harus segera membebaskan dirinya.

Kini gerbong-gerbong kereta telah menjadi sepi. Wajah-wajah lelah telah terpejam di sepanjang lorongnya. Hanya kebisuan yang menyelimuti gerbong-gerbong kereta malam ini. Si perempuan memandang sekelilingnya dengan matanya yang mulai sayu. Kantuknya mulai menyerang, telepon genggamnya telah bergetar ribuan kali oleh panggilan yang sama dari orang yang juga sama, namun kesemuanya sama sekali tidak digubrisnya. Kini yang memenuhi tempurung kepalanya hanyalah serut wajah pada purnama yang mungkin sedang menantinya pula dengan kecemasan-kecemasan akan keselamatan dirinya. 

Telepon genggam si perempuan kembali bergetar untuk yang kesekian ribu kalinya. Dilihatnya sebuah nama muncul pada layarnya: nama ibunya. Kembali anak sungai mulai mengalir di kedua pipinya. Dia tahu kalau sang ibu begitu menginginkannya untuk kembali dan tidak melakukan perjalanan ini. Tapi, rasa rindunya pada kerinduan ini begitu besar. "Aku hanya ingin menjemput rasa rindu ini, Ibu. Tolong mengertilah". Perempuan itu hanya memandangi nama yang muncul di layar telepon genggamnya dan kembali memandang purnama yang kian codong ke barat. 

Langit kini mulai bersemu jingga kebiruan. Fajar mulai akan menjemput pekat dan menelan purnama sekali lagi pada hari ini. Kereta malam akan segera mengantarkan si perempuan ke sebuah tempat yang diinginkannya. Diinginkannya untu kembali menjemput rindunya pada seraut wajah dalam purnama itu. Ya, Aku hanya ingin menjemput rasa rindu ini, bukan melepaskannya

                                                                                ***
Dan kereta malam pun tiba di tempat yang diinginkan si perempuan untuk menjemput rindunya. Senyum terkembang di bibirnya yang sintal, dibayangkannya tubuhnya akan dihujani oleh pelukan rindu dari seraut wajah dalam purnama, lalu mereka akan berjalan bersama menuju ke kerinduan berikutnya.

Nyanyi Bisu


Malam ini,
dia melantunkan sebuah nyanyian.

Nanyian sunyi,
hanya malam yang mampu mendengarnya
dalam sebuah kebisuan.

Malam ini,
dia melagu dalam sebuah kesunyian yang hakiki
Tiada titi nada, tiada irama.

Hanya sebuah nyanyi bisu.
Nyanyian sunyi.

[malam bisu, 2012]

Jumat, 23 Maret 2012

RamaSinta


Pagi murung tak bercahaya
Telaga bening jadi lautan darah
Burung dara menghentikan tawanya
Bagai wanita tua di hadapan kematian

Itulah hidupku
Dalam cengkraman dasamuka
Aku mengharap kau
Datang melepas letihku, Rama

Di hadapanmu kini aku berdiri
bagai makhluk paling nista
di jagad ini
“Masuklah kau ke dalam kobaran api itu,Sinta
dan murnikanlah semesta” ujarmu

Katamu kemudian
“hidup tidaklah semulus yang kau khayalkan
dia membutuhkan pembuktian”

aku terlalu mencintaimu
dan kobaran api pun
tak sanggup membendung
kekecewaanku padamu, Rama...

[Penghujung Kisah, 2011]

Senin, 05 Maret 2012

Persimpangan

Malam kesekian ribu. Aku telah melaluinya bersamamu. Berbagai kisah telah dirangkai menjadi sebuah mosaik yang mungkin, entah kapan, akan terpencar. Menginginkan kita untuk mencarinya.

Senja kesekian ribu. Kau telah berhasil melukiskan berbagai gambar dalam kanvas benakku. Berbagai warna telah menyatu dalam kanvas itu yang mungkin, entah kapan, akan memisahkan diri satu sama lain menjadi warna-warna primer. Menginginkan kita untuk mencampurnya kembali.

Siang keseribu kalinya. Aku telah menggubah musiknya untukmu. Berbagai lagu telah kita lantunkan bersama dalam irama musik yang mungkin, entah kapan, akan terpecah menjadi not-not balok. Menginginkan kita untuk merangkainya, melagukannya.

Pagi kesekian ribu. Kita telah menempuh perjalanan panjangnya. Berbagai tempat telah kita singgahi bersama. Berbagai waktu telah kita lintasi bersama, yang entah kapan, akan membawa kita kepada suatu persimpangan. Menginginkan kita untuk memilihnya.

[Bulan Basah, 2012]

Rabu, 22 Februari 2012

Dari Semeru untuk Indonesia



"Dari Semeru untuk Indonesia" 
adalah kalimat yang tertera di dalam sebuah banner yang ada di Gunung Semeru ketika perayaan 17 Agustus yang lalu. Mungkin sangat terlambat ketika saya baru menuliskan catatannya sekarang, tapi bagi saya tidak ada kata terlambat  untuk berbagi, bukan? Dan mengapa pula saya harus merayakan kemerdekaan di Semeru? 

Semua bermula dari wacana seorang teman untuk bertemu kembali setelah dia menghabiskan masa cuti kuliahnya selama satu tahun karena kakinya yang patah. Awalnya kami hanya ingin sekadar bertemu, namun karena hobi kami sama, yaitu sama-sama hobi travelling terutama mendaki, akhirnya kami memutuskan untuk merancang sebuah perjalanan pendek yang agak berkesan. Kebetulan pula saat itu berdekatan dengan hari kemerdekaan Indonesia, jadilah kami memutuskan untuk mendaki Semeru dalam rangka merayakan kemerdekaan Indonesia.

Saya cukup tertarik dengan wacana ini, karena ini merupakan kali pertama saya merayakan kemerdekaan Indonesia di Puncak sebuah gunung, Puncak tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru dengan Puncak Mahamerunya. Bagi saya, perjalanan kali ini bukan hanya sekadar perjalanan, melainkan salah satu kesempatan saya untuk melihat seberapa besar rasa nasionalisme para pemuda yang kabarnya kini mulai berkurang.

Tim Perjalanan Semeru
Perjalanan kami dimulai dengan mengumpulkan tim perjalanan. Setelah mengajak beberapa orang teman, akhirnya terkumpullah tujuh orang lagi yang akan berjalan bersama, menapaki denyut nasionalisme di Mahameru. Tim perjalanan tersebut berangkat secara terpisah karena memang tidak semua berdomisili di Jakarta. Lima orang berangkat dari Jakarta, dan empat lainnya akan langsung bertemu di Malang, tepatnya di Pasar Tumpang yang merupakan meeting poin menuju Semeru atau pun Bromo. 

Jeep sewaan
Tanggal 15 Agustus 2012, seluruh tim telah berkumpul di Pasar Tumpang dan kami akan menyewa sebuah jeep untuk menuju desa Ranu Pane, yang merupakan desa terakhir dalam pendakian Gunung Semeru. Jauh siang kami baru tiba di Ranu Pane untuk melanjutkan pendakian menuju Mahameru. Keadaan yang sedang berpuasa pun tidak menjadi halangan yang sangat berarti karena saya dan salah seorang anggota tim masih tetap melaksanakan ibadah puasa pada pendakian ini. Sore hari kami langsung mendaki menuju danau Ranu Kumbolo, sebagai lokasi camp pertama kami. Keesokan harinya tim kembali memecah, enam orang melanjutkan pendakian menuju Kalimati dan dua lainnya tetap berada di Ranu Kumbolo. Saya termasuk ke dalam tim yang melanjutkan pendakian karena tujuan utama saya adalah mengikuti upacara kemerdekaan di Puncak Mahameru. Sore hari tanggal 16 kami tiba di Kalimati. 

Akan tetapi, impian saya untuk melaksanakan upacara kemerdekaan di Puncak Mahameru harus saya kubur dalam-dalam karena status gunung Semeru yang sedang dalam "siaga 1" membuat pendakian diharuskan berakhir sampai Kalimati. Namun, hal tersebut tidak serta-merta mengubur rasa nasionalisme saya. Keesokan harinya, upacara Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan serempak di dua titik pendakian: Ranu Kumbolo dan Kalimati. Upacara berlangsung dengan sangat hikmad dan cukup membuat dada bergetar ketika kamipara pendakimenyanyikan lagu Indonesia Raya.

Akan tetapi, bagi saya makna dari suatu nasionalisme bukan hanya sebatas seremoni belaka. Nasionalisme dapat pula kita tunjukkan dengan berbagai hal lainnya dan seremoni hanyalah salah satu upaya pengingat dan pemersatu semangat kebangsaan. Mungkin di masa depan, akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa dari salah satu di antara kami dan kami telah berproses untuk memupuk rasa cinta tanah air kami.

Upacara Kemerdekaan di Ranu Kumbolo

Upacara Kemerdekaan di Kalimati


"Sebuah negara tidak akan kekurangan pemimpin
selama pemudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan"
_Sir Henry Dunant 

Rabu, 15 Februari 2012

Fragmen Cinta


Selepas senja di hari itu, kau menemuiku di sebuah dermaga kecil yang sepi. Hanya ada kau, aku, dan kaki langit yang mecelup ke laut. Lama sekali kita membisu. Memendam berjuta kata yang tidak akan habis kita ucapkan.
Aku mulai resah dalam kebisuan ini. Hanya angin yang mampu membisiki telingaku, membelai lembut keningku, dan sesekali menerbangkan beberapa helai rambutku untuk kemudian menjatuhkannya lagi.

Sayang, kau tetap membisu.

Kau hanya memandangi cakrawala yang kini entah berada di mana. Aku tak tahu pasti untuk apa kau ingin menemuiku di dermaga ini. Dermaga kenangan kita. Tapi, aku melihat tidak ada lagi diriku di dalam sana. Di dalam tatapan matamu yang teduh itu. Aku pun tidak lagi melintas di dalam benakmu seperti biasanya. Hanya kekosongan yang memenuhi rongga pikiranmu saat ini. Entahlah.


Sayang, malam ini aku sudah tak sepaham denganmu.
 
Aku mendengarmu mengatakannya padaku. Sayup-sayup, sangat halus bahkan sehalus desiran angin yang berbisik di telingaku. Aku bergeming. Kurasakan desiran hangat mulai merayapi tubuhku hingga ke telinga. Aku dapat merasakan seluruh jalan buluh nadiku mengalir begitu deras saat ini. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya hingga akhirnya aku menyadari....

Ah, Sayang.. Seandainya kau tahu bahwa di antara luka yang membiru ini tersimpan segores asa. Asa tentang sebuah nama yang menelusup jauh melampaui batas-batas imajiku. Kemudian aku tersentak. Menyadari bahwa nama di dalam imajiku itu bukan engkau!

Sayang, Selamat tinggal.

Bisikku bagai desir angin di dermaga itu. Meninggalkannya. Hanya tinggal cakrawala yang entah di mana dan engkau yang terus mencarinya.

[Tepian Dermaga, 2012]