Selepas senja di hari itu, kau menemuiku di sebuah dermaga kecil yang sepi. Hanya ada kau, aku, dan kaki langit yang mecelup ke laut. Lama sekali kita membisu. Memendam berjuta kata yang tidak akan habis kita ucapkan.
Aku mulai resah dalam kebisuan ini. Hanya angin yang mampu membisiki telingaku, membelai lembut keningku, dan sesekali menerbangkan beberapa helai rambutku untuk kemudian menjatuhkannya lagi.
Kau hanya memandangi cakrawala yang kini entah berada di mana. Aku tak tahu pasti untuk apa kau ingin menemuiku di dermaga ini. Dermaga kenangan kita. Tapi, aku melihat tidak ada lagi diriku di dalam sana. Di dalam tatapan matamu yang teduh itu. Aku pun tidak lagi melintas di dalam benakmu seperti biasanya. Hanya kekosongan yang memenuhi rongga pikiranmu saat ini. Entahlah.
Sayang, malam ini aku sudah tak sepaham denganmu.
Aku mendengarmu mengatakannya padaku. Sayup-sayup, sangat halus bahkan sehalus desiran angin yang berbisik di telingaku. Aku bergeming. Kurasakan desiran hangat mulai merayapi tubuhku hingga ke telinga. Aku dapat merasakan seluruh jalan buluh nadiku mengalir begitu deras saat ini. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya hingga akhirnya aku menyadari....
Ah, Sayang.. Seandainya kau tahu bahwa di antara luka yang membiru ini tersimpan segores asa. Asa tentang sebuah nama yang menelusup jauh melampaui batas-batas imajiku. Kemudian aku tersentak. Menyadari bahwa nama di dalam imajiku itu bukan engkau!
Sayang, Selamat tinggal.
Bisikku bagai desir angin di dermaga itu. Meninggalkannya. Hanya tinggal cakrawala yang entah di mana dan engkau yang terus mencarinya.
[Tepian Dermaga, 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar